Sabtu, 18 Juli 2009

PERISTIWA-PERISTIWA PENTING (dalam sejarah sastra Indonesia)

1. Berdirinya Penerbit Balai Pustaka Penerbit ini didirikan oleh pemerintah Belanda di Jakarta pada tahun 1908 dengan nama Comissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat). Tahun 1917 diubah namanya menjadi Kantoor voor de Volkslectuur, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Balai Pustaka. Latar belakang didirikannyap enerbit ini ialah adanya kekhawatiean dari pihak pemerintah jajahan. Mereka mengkhawatirkan terjadinya ronggrongan terhadap kekuasaan pemerintah yang disebabkan oleh mulai bermunculannya bacaan-bacaan hasil penerbitan yang diusahakan oleh kalangan swasta. Hal itu secara tegas dikemukaan oleh Dr. A. Rinkes, sekretaris Balai Pustaka, sebagaimana dipetik oleh Ajib Rosidi (1969: 19): Hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya, Kalau orang yang telah tahu membaca itu mendapat kitab-kitab bacaan yang berbahaya dari saudagar kitab yang kurang suci dan orang-orang yang bermaksud hendak mangacau. Oleh sebab itu bersama-sama dengan pengajaran itu maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada pembaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib dunia sekarang. Dalam usahanya itu harus dijauhkan segala yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negri. Karena itu, yang menjadi garapan utama lembaga penerbitan ini ialah menerbitkan buku-buku yang dipandang baik oleh mereka, murah harganya, dengan sasaran utama kelompok masarakat yang baru saja mengusai kemampuan membaca dan menulis (huruf latin). Kelompok ini makin banyak jumlahnya sebagai hasil pendidikan sekolah yang diselenggarakan bagi orang-orang bumiputra. Usaha pertama yang ditempuh ialah mencoba mengumpulkan serta kemudian menerbitkan cerita-cerita tradisional atau cerita rakyat. Dalam hal ini perlu diingat bahwa cerita-cerita jenis itu pada waktu itu masih hidup dalam bahasa-bahasa daerah (Sunda, Jawa, Madura, Bali, dsb). Dalam melaksanakan garis-garsi kebijakannya, Balai Pustaka secara tegas tidak menerbitkan naskah-naskah yang diperkirakan akan menimbulkan masalah keagamaan; tidak menerbitkan masalah berisi pandangan politik yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah; serta tidak akan menerbitkan buku-buku yang berisi penyimpangan moral. Sekalipun didirikan mulai tahun 1908, serta kemudian diperluas pada tahun 1917, pekerjaan Balai Pustaka sebenarnya barulah produktif sesudah tahun 1920-an. Selain menerbitkan cerita-cerita rakyat, Balai Pustaka juga kemudian menerbitkan karangan-karangan baru bentuk novel. Bentuk karangan ini dikenal para pengarang kita setelah bergaul dengan sastra barat (Belanda). Terlepas dari tuduhan bahwa Balai Pustaka melakukan sensor yang sangat ketat, atau mungkin dengan tuduhan yang lebih keras lagi sebagai alat pemerintah, tidak bias dipungkiri kenyataan bahwa hasil pekerjaan penerbit itu telah melahirkan kehidupan sastra baru. Pada periode ini muncul sederetan nama pengarang beserta hasil-hasil karya ciptanya. Atas kenyataan itu pula maka beberapa orang ahli sastra lalu berpendapat bahwa sastra Indonesia baru (modern) dimulai pada tahun 1920-an. 2. Majalah Pujangga Baru Majalah Pujangga Baru mulai diterbitkan pada tahun 1933. Tahun 1942 dihentikan penerbitannya karena dilarang oleh pemerintah pendudukan Jepang. Tahun 1949 diterbitkan kembali sampai tahun 1953. Para pendirinya ialah Armijn Pane, Amir HAmzah dan St. Takdir Alisjahbana. Terbitnya majalah ini menjadi perlambang betapa besar keinginan para pengarang dan budayawan muda Indonesia untuk memiliki media sendiri. Sebelumnya memang telah terbit beberapa majalah yang juga memuat karangan cerita, sajak, serta bahasan tentang sastra, yaitu majalah Sri Pustaka (1919 – 1942), Panji Pustaka (1919 - 1942), Jong Java (1920 - 1926), Timbul (1930 – 1933). Majalah Timbul mula-mula terbit dalam bahasa Belanda. Mulai tahun 1932 terbit juga edisi dalam bahasa Indonesia. Redakturnya ialah Sanusi Pane. Ketika St. Takdir Alisjahbana bekerja di Balai Pustaka, ia membuka rubrik “Menuju Kesusasteraan Baru” dalam majalah Panji Pustaka, mulai tahun 1932. Majalah tersebut diterbitkan oleh Balai Pustaka. Ajib Rosidi (1969: 35 – 41) membicarakan berdirinya dan perkembangan majalah Pujangga Baru dengan panjang lebar. Terbitnya Majalah Pujangga Baru didorong oleh semangat yang tertuang dalam pernyataan para pendirinya: “Dalam zaman kebangunan sekarang inipun kesusasteraan bangsa kita mempunyai tanggungan dan kewajiban yang luhur. Ia menjelmakan semangat baru yang memenuhi masyarakat kita, ia harus menyampaikan berita kebenaran yang terbayang-bayang dalam hati segala bangsa Indonesia yang yakin akan tibanya masa kebesaran itu.” Pujangga Baru mula-mula terbit dengan semboyan “majalah kesusasteraan dan bahasa serta kebudayaan umum”. Mulai tahun 1953 diubah menajdi “pembawa semangat baru dalam kesusasteraan, seni, kebudayaan dan social masyarakat umum”. Mulai tahun 1936 diubah lagi menjadi “pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”. Perubahan bunyi moto dan semboyan itu mencerminkan terjadinya perluasan dan sekaligus penajaman dalam merumuskan cita-cita orang-orang yang “berhimpun” dalam Pujangga Baru. Pada kenyataannya memang majalah tersebut berhasil menjadi media tempat berhimpunnya berbagai gagasan dari berbagai pihak dan golongan. Nama-nama penulis makin banyak bermunculan, dari berbagai daerah dan lingkungan etnis. Hal itu tidak mengandung arti bahwa mereka selalu sepaham. Diantara para penulis itu telah terjadi polemik, yang pada umumnya berorientasi ke masa depan. Keadaan ini merupakan dorongan baru dalam mematangkan gagasan-gagasan kebangsaan. Sumbangannya bagi perkembangan sastra Indonesia menajdi lebih konkrit karena arah perkembangannya makin diperjelas. 3. Kelahiran dan Konsepsi Estetik Angkatan 45 Angkatan 45 tidak dapat dilepaskan dari lingkungan kelahirannya, akni masa pendudukan Jepang dan masa revolusi Indonesia. MAsa revolusi merupakan sebuah masa yang khas dengan segala permasalahan social budaya yang khas pula. MAka, generasi yang aktif pada masa revolusi 45 dipaksa oleh keadaan yang dahsyat dank has itu, untuk merumuskan diri dan tampil menjawab tantangan-tantangan jaman yang mereka hadapi. Semua ini menjadi problem besar karena masyarakat Indonesia saat itu, sama sekali belum memiliki pengalaman menjadi sebuah bangsa yang merdeka. Sementara itu, pengalaman masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang terjajah demikian lama dan mendalam. Di tengah suasana semacam itu, gerbang kemerdekaan yang disebut-sebut Soekarno sebagai “jembatan emas ” itu, merupakan sesuatu yang dahsyat dan menggetarkan, penuh pesona dan sekaligus mencekam. Tidak ada seorangpun yang tahu bagaimana Indonesia nanti setelah kemerdekaan itu tercapai. Di tengah latar belakang semacam itu, para sastrawan generasi 45 selain banyak yang berjuang secara fisik dalam perang kemerdekaan, juga menyibukkan diri untuk mencoba merumuskan dan mencari orientasi pada berbagai kemungkinan bangunan kebudayaan bagi Indonesia yang merdeka. Proses menjadi bangsa Indonesia yang meredeka itu sendiri memang bukan hanya dimulai pada masa 40 – 45an. Proses itu telah terjadi jauh sebelumnya. Kegiatan berserikat dan berorganisasi dimulai oleh lahirnya Budi Utomo. Kelahiran Budi Utomo ini segera disusul oleh berbagai organisasi lain, Indische Partij, Serikat Dagang Islam (yang kemudian berubah menjadi Serikat Islam), serta berbagai perkumpulan pemuda yang secara bersama-sama kemudian mengikrarkan Sumpah Pemuda (Ricklefs, 1993: 247 – 274; Kartodirdjo, 1987). Dalam bidang sastra dan budaya proses ini menjadi tegas pada generasi Pujangga Baru (Foulcher; 1991). Nama angkatan 45 sendiri, dimunculkan pertama kali oleh Rosihan Anwar pada lembar kebudayaan “gelanggang”. Sejak itu, penamaan yang dibuat Rosihan Anwar diakui dan disepakati banyak kalangan sebagai nama angkatan sastra periode 40-an. Angkatan 1945 memperoleh saluran resmi melalui penerbitan majalah kebudayaan Gema Suasana, Januari 1948. Majalah ini diasuh oleh dewan redaksi yang terdiri dari Asrul Sani, Chairil Anwar, Mochtar Apin, Riva’i Apin dan Baharudin. Majalah ini dicetak dan diterbitkan oleh percetakan Belanda Opbouw (pembangunan). Dalam konfrontasi dengan Belanda, mereka kemudian pindah ke “Gelanggang”, sebuah suplemen kebudayaan dari jurnal mingguan siasat yang muncul pertama kali pada bulan Februari 1948 dengan redaktur Chairil Anwar dan Ida Nasution. Di sumpelem inilah mereka kemudian menerbitkan kredo angkatan 45, yang dikenal luas dengan nama “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Dengan itu, para penyair angkatan 45 mendefinisikan diri dan konsep estetik budayanya. Pendefinisian ini, dilakukan sastrawan angkatan 45 lewat “pemisahan diri” dan kritik keras terhadap generasi sastra sebelumnya, khususnya kritik dan pemisahan diri dengan visi budaya yang ditegakkan Sutan Takdir Alisjahbana. Hal ini ditunjukkna pula dengan terbitnya kumpulan sajak Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rifa’I Apin berjudul Tiga Menguak Takdir. Baik Chairil maupun Asrul Sani kerap mengajukkan protes dan serangannya terhadap Sutan Takdir Alisjahbana (Sani). Pemisahan konsepsi sastra dan visi budaya inilah yang kemudian dijadikan banyak pengamat sastra sebagai ciri utama angkatan 45 dibanding angkatan sebelumnya. H.B. Jassin dalam banyak tulisannya mengemukakan terdapat pemisahan yang tegas antara konsepsi sastrawan Pujangga Baru dengan konsepsi sastrawan generasi 45. Andaian ini pulalah yang dianut dan dipercayai banyak sastrawan angkatan 45. Sekalipun begitu, banyak krtisi dan pengamat yang kemudian, meragukan adanya pemisahan visi yang tegas antara angkatan 45 dan Pujangga Baru. Dengan caranya masing – masing, Ajip Rosidi (1964), Subagio Sastrowadojo, Keith Foulcher (1997) dan Agus R Sarjono (1997a), mengemukakan bahwa visi dan orientasi budaya angkatan 45 masih merupakan kelanjutan dari visi budaya Pujangga Baru, khususnya Takdir Alisjahbana. Bagaimanapun, angkatan 45 merupakan biuah dari pohon pikiran yang ditanam St. Takdir Alisjahbana (Foulcher, 1997 ; Sarjono 1997b). H.B. Jassin (1993) merumuskan ideology sastra angkatan 45 adalah humanisme universil. Namun, Keith Foulcher menunjukan bahwa ideology sastra angkatan 45 merup[akan gambaran dari situasi politik saat itu. Foulcher yang melihat konsepsi angkatan 45 dari konstelasi politik, mengemukakan bahwa: Dalam lapangan kesusastraan, angkatan 45 adalah fenome dikenal. Saya percaya bahwa kelahiran dan karakternya dapat secara paling baik difahami saat ia dipandang terutama sebagai ekspresi budaya dari gerakan nasionalisme Indonesia aliran Syahrir (Rosidi dkk, 1997: 86). Subagio Sastrowardojo (1980: 36-37) dan Ajip Rosidi (1973) dengan cara berbeda menyepakati bahwa orientasi budaya Chairil Anwar dan angkatan 45 adalah sastra dan budaya barat. Agus R Sarjono (1997) melihat persoalan orientasi budaya angkatan 45 yang “barat” itu sebagai sesuatu yang tak terelakan, sebagaimana dikemukakannya bahwa: “Surat Kepercayaan Gelanggang” itu sendiri menggambarkan dengan bagus kondisi psikologis sastrawan generasi 45-an. Menjadi kosmop[olit dan mengklaim diri sebagai ahli waris kebudayaan dunia, boleh jadi adalah satu – satunya hal yang mungkin. Tidak bias diharapkan sebuah generasi yang baru saja menghirup kemerdekaan akan member harga pada budaya lama Nusantara, sebuah hamparan budaya yang dengan geram dan penuh sesal diandaikan sebagai budaya yang telah membawa Indonesia menjadi bangsa terjajah dan ternista sekian lama. Maka hanya kebudayaan dunia (Baca: Luar Indonesia, tepatya barat) lah satu – satunya yang dapat (dan mungkin) diklaim sebagai tempat berangkat. Orientasi budaya yang mengarah ke barat, dalam perspektif ini adalah sesuatu yang tak terelakan. “Menjadi Indonesia” dalam Nasionalisme Indonesia saat itu memang bukan sesuatu yang gampang. Diakui atau tidak, satu – satunya kebudayaan Indonesia yang secara final dapat disebut sebagai Kebudayaan Indonesia hanyalah Bahasa Indonesia. Selebihnya, berbagai akar budaya yang sering disebut kebudayaan Indonesia, kebudayaan Nasional, Kepribadian Bangsa dan berbagai rumusan sejenis itu, masihlah merupakan silang siur berbagai tradisi dan akar budaya local yang saling berkecamuk dan berbenturan membentuk diri. Kebudayaan Indonesia adalah sebuah transformasi yang masih akan panjang dan lama untuk membentuk diri. Agus R Sarjono (1997) lebih jauh beranggapan bahwa para sastrawan angkatan 45 tampil sebagai pelopor sastra Indonesia modern dengan sejumlah dilemma budaya. Nyaris semua sastrawan angkatan 45 adalah didikan Belanda. Ketika mereka menjalani pendidikan Belanda dan masuk dunia modernitas, disadari atau tidak mereka sebenarnya sudah sebagaimana St. Takdir Alisjahbana meninggalkan tasik yang tenag tiada beriak, (sajak ”Ke laut”) dan pergi tiada bertopi ke pantai landasan matahari (sajak Asrul Sani “Anak Laut”). Tidaklah mengerankan jika Asrul Sani –salah seorang pemuka angkatan 45- dalam sajaknya “Orang dari Gunung” manghardik mereka yang mengajaknya pulang berakrab dengan kampong halaman lama. Orang asing jangan berdiri diambang pintu. Aku hidup depan pintu terbuka, Dibelakangmu jalan, batas entah kemana. Kau datan gterlampau senja, Kisahmu bagiku hanya kenangan. Karena kau telah mati, toh telah bicara, Kembalilah pulang, Kabarkan: Sajak Terakhir akan lahir di dasar lautan Kenyataan ini dilematis. Pada satu sisi, Belanda (dengan budaya Eropa-nya) tidak bisa tidak adalah “guru” yang membuka mata mereka terhadap modernitas. Pada sisi lain, sang guru itu pulalah yang harus mereka perangi habis-habisan hidup dan mati. Ketika Belanda sebagai guru rohani itu dikalahkan dalam revolusi dan berhasil diusir pergi, sastrawan angkatan 45 bisa dikatakan tidak lagi mempunyai sandaran rohani. Mereka mau tidak mau harus berdiakri (berdiri di atas kaki sendiri), sebagaimana ungkapan-ungkapan Bung Karno yang popular itu. Namun, angkatan 45 yang meninggalkan hamparan masyarakat awam kampung halaman dan ditinggalkan Belanda dengan gugusan budaya Eropa-nya itu, harus menjalani sebuah situasi homeless yang ekstrem misalnya dialami Sitor Sitomorang yang menjadi “Sianak Hilang” dan mengalami keterasingan yang gawat di Eropah namun sekaligus misplaced dan tak pulang ke hamparan budaya asal di Toba sana (Sarjono, 1994; 1996; 1997b). 4. Angkatan 50 Nama angkatan 50, dikemukakan pertama kali ole Rendra dan kwan-kawan dari Yogya, pada akhir 1953. Rendra dan kawan-kawan member nama Angkatan 50 bagi para sastrawan yang mulai menulis pada tahun 50-an. Nama Angkatan 50 sebagaimana dikemukakan pertama kali oleh Rendra, tidaklah popular dan kemudian dilupakan orang. Pada tahun bulan Agustus 1960, Ajib Rosidi mengajukan makalah berjudul “Sumbangan Terbaru Indonesia Kepada Perkembangan Kesusastraan Indonesia”. Makalah ini, kemudian terbit dalam buku Ajib Rosidi, Kapankah Kesusastraan Indonesia lahir? (1964). Pada kesempatan itu, Ajib mengumumkan lahirnya “Angkatan Terbaru” yang menurut Ajip berbeda kecendrungannya dari angkatan 45. Makalah Ajib tersebut kemudian dibantah keras oleh H.B. Jassin, yang belakangan kemudian mengumumkan lahirnya Angkatan 66 dalam sastra. Lewat makalahnya, Ajib merumuskan cirri-ciri dan sastra “Angkatan Terbaru” yakni, orientasi dan pengalaman sastranya dibentuk pertama kali oleh perkenalan terhadap sastrawan Indonesia sebelumnya, tidak menguasai bahasa asing sehingga kecenderungan imitatifnya terhadap sastra dunia, khususnya Barat cukup kecil, dan menggali serta berakar pada sastra tradisi daerah (Rosidi: 1964). Rumusan Ajip inilah yang kemudian member angin segar dan penguatan terhadap nama “Angkatan 50” yang diproklamasikan Rendra. Dengan begitu, nama “Angkatan Terbaru” yang dikemukakan Ajib Rosidi berangsur dilupakan dan nama Angkatan 50-lah yang kemudian lebih popular dan hidup namun, dengan cirri sebagaimana dirumuskan Ajib mengenai Angkatan Terbaru. Dilihat dari segi ini, Angkatan 50 identik dengan Angkatan Terbaru. Angkatan 50 mendefinisikan dirinya dalam pertentangan dan perbedaannya dengan angkatan 45. Kecenderungan kosmopolit pada angkatan 45, serta orientasi humanism universal yang mengarah ke Barat itulah terutama mendapat kritikan dari para sastrawan yang digolongkan sebagai angkatan 50. Alih-alih dari menjadikan diri “ahli waris kebudayaan dunia” gaya angkatan 45 atau “Menuju Barat” gaya Alisjahbana, sastrawan angkatan 50 cenderung menengok ke akar tradisi di daerahnya masing-masing. Kecenderungan itu, ternyata berdampak cukup besar pada karya-karya sastra yang mereka lahirkan. Ajib Rosidi sendiri, sebagaimana terlihat pada banyak karnyanya, menjadikan akar daerahnya –Sunda- sebagai sumber inspirasi bagi kerja sastranya. Karya-karnya seperti, Di Tengah Keluarga dan Sebuah Rumah buat Hari Tua, berisi deskripsi dan problematic yang muncul dari akar budaya kampungnya. Hal ini terus berlanjut hingga pada sajak-sajaknya yang terkenal seperti “Jante Arkidam” dan “Nyayian Mahdapi”. Jante Arkidam berkisah dengan gaya balada mengenai romatika dan action seorang “jawara” bernama Jante Arkidam di tengah pesta ronggeng dan kebun tebu, dan dalam tatapan mata mantra pulisi (desa). Rendra sebagaimana diakuinya kemudian dalam Menimbang Tradisi (1983) menunjukkan bagaimana besarnya pengaruh tradisi daerah pada sebagian besar karnyanya yang memperlihatkan besarnya pengaruh akar budaya Jawa. Pengaruh tradisi JAwa terlihat pada masuknya unsure suluk hingga sajak-sajak (dan nyayian) dolanan anak-anak di desa-desa di Jawa Tengah. Subagio Sastrowardojo (1983), kemudian memang pernah menyoroti pengaruh Lorca yang sangat besar terhadap Rendra, dalam telaahnya “Kerancuan Pribadi Rendra-Lorca”, namun pengaruh tradisi daerah jauh lebih besar daripada pengaruh asing terhadapnya. Sikap budaya para sastrawan yang tergolong pada angkatan 50 merupakan sintesis dari dua sikap ekstrim mengenai konsep kebudayaan Indoensia. Yang pertama ialah sikap berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Yang kedua, ialah sikap berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia ialah mendunia dan mempersetankan kebudayaan daerah. Maka sikap sintesisnya ialah kebudayaan nasional akan berkembang berdasarkan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat Indonesia masa kini, yaitu antara kebudayaan daerah dan adanya pengaruh dari luar. Dibandingkan karya-karya Angkatan 45, kuatnya unsure tradisi dan kebudayaan daerah pada angkatan 50 sangat besar dan mencolok. Hal ini misalnya terlihat jelas pada cerpen S.M Ardan.

PERIODISASI SEJARAH SASTRA INDONESIA

Seperti umumnya bidang garapan sejarah, sejarah sastrapun pada dasarnya adalah pembicaraan mengenai peristiwa-peristiwa penting. Peristiwa-peristiwa itu dibicarakan terurut secara kronologis sehingga tergambar adanya sebuah perkembangan.

Tentu saja yang dimaksud peristiwa penting dalam sejarah sastra adalah peristiwa-peristiwa kesastraan, bersangkutan dengan lahirnya karya-karya sastra, pengarangnya, kualitas karya, munculnya konsep-konsep baru, dan lain-lain. Serta situasi sosial-budaya-politik yang melatarbelakangi terjadinya persitiwa penting itu.

Pada kenyataannya tidak setiap karya mendapat pembicaraan yang sama luasnya. Demikian pula, mengenai pengarang. Hal itu bergantung pada pentingnya kedudukan karya atau pengarang yang bersangkutan dalam masanya atau dalam hubungan dengan masa selanjutnya.

Para penulis sejarah sastra sangat mungkin mempunyai pandangan yang berbeda dalam menentukan mana yang lebih penting. Karena itu, buku-buku sejarah sastra yang ditulisnya sering menunjukkan adanya perbedaan penekanan. Lebih jauh dari itu, para penulis yang melihat pentingnya peranan seorang atau beberapa orang pengarang, maka lalu menulis buku tersendiri tentang mereka. Demikian pula, para penulis yang melihat pentingnya karya-karya sastra dari suatu masa (periode) maka lalu menerbitkan antologi dengan pembahasan kesejarahan, khusus untuk periode itu.

Terjadinya perbedaan mengikhtisarkan perkembangan sejarah sastra Indonesia, ke dalam bentuk periodisasi, serta tentang perselisihan paham mengenai lahirnya sebuah angkatan, juga bias dipahami sebagai adanya perbedaan pandangan di kalangan para ahli tentang persitiwa-peristiwa penting itu.

Beberapa orang ahli telah mengumumkan periodisasinya tentang sejarah sastra Indonesia. Antara lain Bujang Saleh (1956), Nugroho Notosusanto (1963), dan Ajib Rosidi (1969). Di samping terdapat banyak persamaan, periodisasi mereka menunjukkan pula adanya perbedaan-perbedaan, baik dalam pembagian banyaknya periode maupun dalam pemberian nama-nama periode itu. Di balik perbedadaan itu tersirat perbedaan pandangan mereka mengenai mkana peristiwa-peristiwa sastra yang terjadi dalam perkembangan sastra Indonesia.

Dalam buku (Iskandarwassid, 1997) ini pembicaraan tentang sastra Indoensia akan dibagi dalam tujuh periode, berturut-turut sebagai berikut.

1. Periode 1900 – 1933

2. Periode 1933 – 1942

3. Periode 1942 - 1950

4. Periode 1950 - 1960

5. Periode 1960 - 1970

6. Periode 1970 – sekarang

Sebagaimana lazimnya dalam periodisasi, angka-angka tahun di atas tidak diartikan sebagai garis batas mutlak.